Terik matahari juga terasa menghanguskan kulit. Dua perempuan, Ida (30) dan Salmah (45) tak peduli cuaca panas itu. Mereka tetap konsentrasi dengan pekerjaannya. Menempa tanah lantas membentuknya, dengan teknik memutar memakai alat khsusus.
Selanjutnya, menjadi ragam produk gerabah (perkakas dari tanah liat yang diolah). Antara lain perapian atau yang disebut penduduk setempat dapur. Adapula panai (alat penutup loyang saat menciptakan kue bakar). Dalam sehari, mereka rata-rata menghasilkan 100 biji produk gerabah. Khusus menempa atau menyusun tanah menjadi produk, kebanyakan dilaksanakan kaum perempuan.
Sedangkan semua lelaki, menggali tanah liat di dasar perairan rawa, serta menghanguskan gerabah yang sudah disusun ke dalam lokasi pembakaran khusus.
Ida, di antara perajin mengatakan, telah menggeluti usaha menciptakan gerabah ini, lebih dari 20 tahun. Namun, dia melulu menjual gerabah jenis panai. 100 panai yang dibuatnya per dua jam sehari, dipasarkan Rp 130 ribu.
Sedangkan produk telah jadi, dipasarkan pedagang di pasaran antara Rp 5000 hingga Rp 6.000 di tingkat eceran. Berdasarkan keterangan dari Ida, usaha ini memang tak perlu modal besar, dan tidak jarang kali ada yang membelinya, yaitu saudagar pengumpul. Merekalah yang memasarkannya ke sekian banyak daerah di Kalsel. “Kami melulu sebatas mengolahnya,”katanya.
Perajin gerabah lainnya, Salmah. Bersama suaminya Supian dia membuat ragam produk gerabah. Seperti halnya pembuat gerabah lain, sehari dia menghasilkan 100 produk. Beda dengan Ida, yang tak lagi menciptakan dapur dengan alasaan peminatnya mulai berkurang, Salmah membuat sekian banyak produk inovasi.
Seperti celengan, guci, miniatur. Celengan disusun dengan ragam buah-buahan dan boneka figur animasi atau kartun. Misalnya, hello Kitty, spongebob dan angry bird, sebagai cindera mata.
Berdasarkan keterangan dari Salmah, semenjak program konversi minyak tanah ke gas, dominan besar pada produk unggulan, yakni dapur. ‘Sekarang, permintaan dapur jauh menurun drastis. Dulu masa-masa harga minyak tanah mahal, dan program pembagian kompor gas belum ada, permintaan sempat naik,”tuturnya.
Penggunaan kompor gas, sesudah konvensi tersebut dominan pada kejayaan produk gerabah di Desa Bayanan yang dulunya familiar dengan Kampung Padapuran tersebut. Jika dulunya nyaris semua penduduk menggeluti usaha itu, kini dapat dihitung dengan jari. “Sekarang unit usahanya tak hingga 10 orang lagi,”tutur Jam’ah, perajin gerabah lainnya.
Untuk dapat bertahan dan eksis dengan usaha gerabahnya itu, inovasi produk seperti dilaksanakan Salmah juga di kerjakan perajin lainnya. Selain menciptakan celengan buah, panai dan boneka karakter film animasi, mereka juga berupaya mengisi selera pasar.
“Misalnya menciptakan semacam kendi, guna merebus resep tradisional. Pemesan bilang, merebus ramuan tradisional lebih aman memakai alat dari tanah ketimbang di panci aluminium. Akhirnya kami buatan juga. Alhamdulillah, mulai laku,”kata Jam’ah.
Berdasarkan keterangan dari para pengrajin, kunci supaya tetap eksis di dunia usaha, ialah melakukan inovasi produk. Sebagian penduduk Bayanan, sepertinya mengetahui hal tersebut.
Camat Daha Selatan, Safwan mengatakan, penduduk Nagara memang familiar dengan kreativitasnya. Hidup di lingkungan perairan rawa-rawa dengan melulu mempunyai potensi perikanan dan peternakan, memaksa mereka mesti kreatif menggali peluang usaha.
