Kawan tersebut tak merasakan filmnya. “Kalau bukan sebab nonton bersama cewek saya, nggak bakalan saya inginkan nonton film itu,” keluhnya.
Cerita tersebut membawa saya pada suatu pertanyaan: benarkah Cinderella hanya sesuai ditonton cewek?
Hm, begini, saya seorang pria. Dan saya toh menyenangi film Cinderella tersebut. Lantas, apa dengan demikian saya jadi “kurang cowok”?
Sebelum menjawabnya, saya mengejar sebuah tulisan opini unik di laman Time yang ditulis Jaclyn Friedman, seorang pengarang isu feminisme. Berbeda dengan kritikus Time yang menyenangi Cinderella (seorang pria, omong-omong), Friedman (seorang wanita) tak menyukainya.


Kata Friedman, meski muncul di tahun 2015, Cinderella versi baru terasa membawa nilai-nilai lama. Di tengah Disney merilis film-film yang pro feminisme macam Frozen, Brave, maupun Maleficent—yang dengan kata lain tokoh utama wanitanya lebih berdikari dan bahkan perkasa, lewat film Cinderella baru Disney malah kembali ke nilai-nilai lama era 1950-an ketika wanita menggarap tugas-tugas dalam negeri dan sekadar menanti dinikahi Pangeran Tampan (baca: lelaki kaya).
Pandangan seperti tersebut tak sepenuhnya salah. Kisah Disney Princess atau Putri Disney memang sering dikritik melulu menjual mimpi. Kisahnya pun dikritik kaum feminis tak mendidik wanita untuk mandiri. Gambaran cantik versi cerita Putri Disney lawas pun sangat stereotip: kurus dan pirang.


Dikritik begitu, (studio) Disney sepeninggal Walt (Disney, sang pendiri) berubah. Barangkali guna meralat Putri Tidur dan Cinderella yang pirang dan pasrah, Disney menyuguhkan Belle di Beauty and the Beast (1991) yang seorang kutu kitab dan punya pendirian teguh. Disney pun kemudian menyuguhkan Pocahontas, putri Indian yang perkasa, serta Mulan, pendekar perempuan dari Tiongkok. Dan, puncaknya, Anda pasti paham, ketika Frozen (2013) mengedepankan kasih sayang kakak-beradik perempuan, menghadapi kejamnya dunia di luar sana.
Seperti saya tulis saat menjabarkan Cinderella di website ini, sutradara Kenneth Branagh memang tak tertarik menyuguhkan pandangan—pandangan pro feminisme di Cinderella versi barunya. Ia terlihat lebih tertarik menyuruh penonton bernostalgia dengan Cinderella dari film animasi 1950-an, yang berarti mengangkat pula nilai-nilai lawas Disney masa itu.


Yang butuh Anda pahami pula, meski mengangkat nilai-nilai masyarakat lama, Cinderella Disney versi 1950-an terus diputar sampai kini dinikmati sekian banyak generasi. Persentuhan banyak sekali orang dengan kisah Cinderella kesatu kali lewat versi animasi Disney tahun 1950-an, bukan dengan kisah aslinya yang adalah dongeng Prancis.
Maka, pertanyaannya lantas menjadi: kenapa kisah Cinderella yang mengangkat nilai-nilai lama tetap digemari penonton sekarang?
Denah Tempat Tidur Beku Sederhana – Tempat Tidur Frozen